Mimpi Orang Asmat di Bumi Anim-Ha (Seri II) : “Sa Mo Hidup Seperti Pu Anim Dorang”

PAPUA MANDIRI – Pagi itu kira-kira jam 9 Firgil datang ke rumah. Pagi kaka, ada kerja ka?”, tanya Firgil kepada saya. Sebenarnya sudah agak telat untuk seseorang yang ingin kerja membersihkan rumput-rumput di halaman belakang. Tubuh kurus, muka pucat dengan pakaian sedikit kucel itu sekarang sedang berdiri di hadapan saya dengan tatapan mata penuh harap bisa mengerjakan sesuatu di rumah. Seakan ia ingin menjelaskan kepada saya bahwa ia sangat membutuhkan uang karena ada tiga anak dan istrinya yang menunggunya di rumah.

Firgil made a simple table in BLK Training Center Merauke

“Kenapa datang su siang sekali kalo memang mo kerja”? tanya saya sedikit jengkel sekaligus penasaran alasan apa yang akan dia berikan. “Ini tadi tunggu Beti karena dia mo ikut saya”, jawabnya polos. Beti yang sedari tadi memegang tangan kiri ayahnya kemudian memandang saya. “Io sudah, ko kasi bersih halaman belakang suda. Ko bikin seperti biasa e”, jawab saya dengan spontan. Ya, seperti biasa. Setidaknya dua kali sebulan Firgil selalu datang ke rumah untuk bersih-bersih halaman. Ia adalah orang tua dari Habel dan Beti, dua anak Asmaro yang kini duduk di bangku SD dan TK yang kami dampingi selama dua tahun ini. Ketika Beti ikut Firgil untuk kerja, Odeta istrinya punya waktu cukup untuk mengurus adik bungsunya di rumah yang belum genap setahun. Selain itu, jika Firgil yang pergi bekerja maka Odeta tinggal di rumah. Sebaliknya, jika Odeta yang pergi kerja mengupas bawang, ia akan membawa salah satu dari ketiga anaknya. Sisanya akan diurus oleh Firgil.

Sebelum saya memahami pola seperti ini, saya selalu memarahi Firgil mengapa ia harus membawa anaknya ikut kerja. Selain akan membuat Firgil tidak fokus dalam bekerja, membawa anak ikut ke tempat kerja memiliki resiko untuk anak itu sendiri. Contohnya seperti jatuh, terkilir atau makan salah di tempat kerja. Meski demikian, saya harus menerima bahwa ini adalah tipikal manajemen rumah tangga keluarga komunitas Asmaro. Tipe manajemen di mana tidak ada dari salah satu orang tua yang memiliki kuasa ekonomi tunggal atas keluarga. Keduanya harus bekerja sama untuk membawa uang masuk ke rumah. Meskipun harus berbagi jadwal agar urusan kerja beres dan pekerjaan rumah termasuk mengurus anak tidak terbengkalai. Corak patriarki tradisional di mana sumber kuasa dan hak istimewa laki-laki yang terletak pada kepemilikan atas tanah  secara eksklusif tidak nampak lagi. Tentu saja, karena para laki-laki nya sudah terputus dari tanah ulayat mereka  dan kini numpang hidup di atas tanah milik orang lain.  Tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari seorang laki-laki Asmaro kecuali kerja kerasnya untuk mendatangkan uang ke rumah. Hal yang juga bisa dikerjakan oleh para perempuan Asmaro. Malahan, mereka jauh lebih produktif dalam menghasilkan uang dibanding para laki-laki. Kondisi-kondisi ekonomi tertentu seperti ini meruntuhkan dikotomi patriarkialitas – matriarkialitas sehingga ada ruang kompromi yang lebih besar. Sudah menjadi pemandangan sehari-hari para laki-laki Asmaro menggendong anak-anaknya menggunakan sarung sambil berjalan-jalan keliling kompleks perumahan mereka. Para perempuan juga menjadi tulang punggung ekonomi dan dalam beberapa hal menjadi pengambil keputusan utama dalam urusan rumah tangga.

Sejenak setelah merefleksikan pengalaman saya dengan mereka, saya dengan cepat menghidangkan segelas teh panas untuk Firgil dan segelas susu hangat untuk Beti dan tiga potong kue. Selanjutnya, saya melanjutkan kerja harian saya, Firgil dengan pekerjaan membabat rumput di halaman belakang dan Beti bermain dengan kue-kuenya.

Kira-kira jam 12 lebih, Firgil sudah menyelesaikan tugasnya. Saya pun harus bersiap untuk makan siang. Saya mengajaknya makan sambil ngobrol. Beti tidak ketinggalan. Ia sedikit susah untuk makan. Mungkin karena tidak ada mamanya di samping. Tetapi Firgil harus bisa mengurus hal ini juga. Tentu saja, ia sudah sangat berpengalaman. Ia sudah melewati banyak hari mengurus Beti sejak kecil ketika Odeta harus keluar pagi-pagi sekali berkumpul bersama ibu-ibu Asmaro lainnya untuk selanjutnya menunggu mobil (blakos) belakang kosong atau taksi mengantar mereka ke rawa-rawa di sekitaran luar kota Merauke. Firgil dengan tenang menyuap Beti sembari sesekali menelan makanan miliknya. Kedua ayah anak itu tampak menikmati makan siang. Setelah selesai makan siang, kami berdua menuju teras depan sambil menunggu makanan turun ke perut.

asmat-men-sitting-on-their-yard

“Kaka, sa sebenarnya tu mo hidup seperti Pu Anim dorang”, Kata Firgil tiba-tiba. Saya diam sambil menunggu kalimat berikut keluar dari mulutnya. “Pagi pergi kerja, pulang sore. Ada makan kita makan. Habis makan kita nonton TV. Main dengan anak-anak. Anak-anak juga tetap pi sekolah. Baru tidak ada orang mabuk yang ganggu”, lanjutnya singkat, padat dan jelas. Saya paham apa yang Firgil maksud. Saya memang tidak memiliki hubungan yang dekat dengan mereka. Apalagi hidup di tengah-tengah mereka. Jadi, saya tidak bermaksud menjadi orang yang paling paham atas persoalan mereka. Saya hanya punya pengalaman sebagai pekerja sosial yang sudah dua tahun memiliki beberapa kali perbincangan mendalam dengan Firgil dan para anggota komunitas Asmaro. Selain itu, saya juga sudah beberapa kali ke kompleks rumah mereka. Terutama di periode 2020 – 2021 di mana saya terlibat langsung dan intensif dalam kegiatan Belajar Sore bersama anak-anak Asmaro. Ini yang menjadi dasar refleksi saya ketika mencoba untuk mendengar apa yang tidak diceritakan dan melihat apa yang tidak ditunjuk oleh Firgil.

Firgil ingin berubah menjadi Asmat yang baru. Ia ingin jadi seperti Pu Anim. Bukan menjadi Asmat yang ia kenal. Mungkin karena imej Asmat yang sekarang ia kenal tidak menarik untuknya. Dengan kata lain, ia ingin menjadi Asmat yang seperti Pu Anim. Pu Anim versi Asmat lebih tepatnya. Pu Anim dalam tubuh seorang Asmat. Untuk sampai pada kesimpulan seperti ini, Firgil sudah pasti telah melewati ribuan permenungan siang dan malam. Ia melihat. Ia mendengar. Ia menyimak kemudian membandingkan dirinya, keluarganya, komunitasnya dengan orang lain, keluarga lain dan masyarakat pada umumnya.  Ia sudah jenuh, kecewa bahkan mungkin marah dengan situasi di sekitarnya. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa ia harus berubah.

Akan tetapi, bagaimana caranya? Ia memang memiliki ijazah SMK dan sedikit keterampilan untuk sensor kayu dan babat rumput. Namun, ia tidak punya banyak kenalan yang bisa memberinya jalan untuk bekerja sesuai bidangnya. Apalagi dengan manajemen keluarga ala komunitas Asmaro, ia tidak bisa bekerja setiap hari ala 9 – 5 (Kerja dari jam 9 pagi sampai 5 sore dari hari senin sampai jumat). Belum lagi beban pelabelan negatif yang melekat pada orang Asmat. Butuh waktu lama dan kemurahan hati sang empunya kerja untuk memberikan kesempatan kepadanya membuktikan bahwa Firgil bukanlah pemuda Asmat dengan karakter yang buruk.

Asmat men join the training in BLK Merauke

Tahun 2021, saya pernah mengantarnya melamar kerja menjadi seorang Sekuriti. Proses wawancara berjalan lancar, namun akhirnya ia tidak mendapat panggilan. Saya paham mengapa ia tidak dipanggil. Selanjutnya dalam cerita lain, saya pernah juga membawa seorang temannya dari komunitas Asmaro bekerja di mebel. Teman Firgil ini sebelumnya pernah mengikuti pelatihan kelas bangunan di BLK Merauke tahun 2021 juga. Bekal keterampilan itulah saya ajak bekerja di mebel. Sesuai kesepakatan dengan pemilik mebel yang adalah kenalan saya, ia di sana untuk mengasah kemampuannya saja dulu. Soal pembayaran nanti dari Papua Mandiri yang menggaji melalui pemilik mebel. Hal  ini agar terkesan bahwa ia mendapat gaji dari pemilik mebel untuk  hasil kerjanya. Hanya saja, baru sehari masuk besoknya ia sudah tidak masuk lagi. Sejak saat itu, tidak ada lagi pemuda Asmaro yang saya ajak untuk mencari kerja. Bukannya tidak bisa atau tidak mau. Akan tetapi, ada persoalan yang jauh lebih laten ketimbang sekedar mencari kerja dan bekerja pada orang lain.

“Mungkin ko harus hidup sendiri pisah dari dorang dulu”, saran saya kepada Firgil. “Ini supaya ko bisa atur ko pu rumah tangga sendiri, mulai dari beli pulsa listrik, air galon sama makan sehari-hari”, saya menerangkan lebih lanjut kepada Firgil. Saya akui ini saran yang cukup berat. Orang Asmat hidup secara berkelompok. Mereka saling menopang hampir dalam semua hal. Apalagi untuk memulai hidup sendiri minimal Firgil harus punya uang sedikit untuk membayar rumah sewa atau tanah untuk membangun gubuk kecil di sana. Setelah itu ia harus segera mendapat pekerjaan dengan upah yang cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran bulanannya. Belum lagi, hidup terpisah dari komunitas itu tidak hanya berat tetapi juga terasa asing. Asing karena harus tinggal di tengah-tengah orang yang mungkin saja berbeda warna kulit, rambut, bahasa, model rumah, hingga kebiasaan hidup sehari-hari. Sulit untuk membayangkan hidup seperti itu. Tetapi kalau tidak begitu, sulit juga untuk mewujudkan hidup seperi Pu Anim seperti impian Firgil setidaknya menurut hemat saya.

Dari dua pengalaman ini, sedikit demi sedikit saya menjadi lebih paham jarak antara harapan, realitas dan usaha mereka untuk berubah. Saya sampai pada kesimpulan bahwa bukannya mustahil namun sangat sulit mencapai perubahan bagi generasi orang tua dari komunitas Asmaro saat ini. Perubahan yang baik tidak bisa datang seperti angin ribut di musim hujan. Ia perlu ditanam, dipupuk dan dirawat seperti sebuah pohon. Ia hanya akan datang ketika musim panen tiba. Demikian juga perubahan baik untuk komunitas Asmaro. Mungkin saja bisa menunggu satu generasi untuk melihat perubahan itu sendiri.

Asmat kids go to SD

Tiba-tiba Firgil melihat ke saya dan berkata,” Kaka sa titip Habel dan Beti di kaka dong pu sekolah”. Firgil melihat ada jalan lain yang jaraknya jauh dari usianya sekarang tetapi lebih menjanjikan. Habel dan Beti mesti sekolah sampai selesai supaya besok mereka bisa dapat kerja bagus. Firgil tidak perlu susah-susah pikir banyak lagi tentang bagaimana beli tanah, bangun rumah dan penuhi kebutuhan bulanan. Lebih penting lagi, Firgil dan Odeta akan hidup tidak seberat seperti sekarang sebab kedua anaknya akan menopang mereka berdua di hari tua nanti. “Ok Firgil. Ko pu pikiran bagus. Berarti mulai sekarang ko harus lihat dong dua supaya setiap pagi harus tetap pergi ke sekolah. Bagaimanapun buruknya keadaan di hari itu, ko harus pastikan dong tetap pi ke sekolah. Ini langkah pertama untuk punya hidup seperti Pu Anim dong”, lanjut saya menjelaskan. “Siap kaka bos,” Firgil memberikan jawaban khasnya kepada saya. Lalu kami berdua tertawa bersama. Saya tertawa karena sebenarnya saya merasa asing dengan sapaan itu. Sebaliknya, Firgil tertawa karena dia sendiri merasa aneh kenapa saya merasa tidak bisa menerima sapaan itu.

(Sumber : Tulisan Reflektif Edoardo Mote)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *