Menari Bersama Perubahan : Sekolah Komunitas “Lentera”

Papua Mandiri – Beberapa waktu lalu kami dikejutkan dengan penolakan oleh sebuah Sekolah Dasar di kota Merauke terhadap anak-anak Asmaro yang baru saja lulus dari TK kami sehingga mereka tidak bisa mendaftar di sekolah tersebut. Berita ini membuat kami shock lantaran ada 12 anak Asmaro yang terancam tidak bisa melanjutkan studi karena Sekolah Dasar yang berada satu zonasi dengan tempat tinggal mereka bahkan menolak anak-anak ini. Jika kami tidak mencari Solusi yang efektif dalam waktu cepat maka mereka akan menjadi anak-anak putus sekolah. Apa yang sudah kami bangun selama 4 tahun sia-sia begitu saja.

Anak-anak TK Bintang Fajar mempersiapkan diri untuk menari pada Perayaan HUT Papua Mandiri Sentosa Foundation ke 4

Setelah melakukan crosscheck informasi kepada pihak sekolah, kami mendapati bahwa alasannya cukup bisa diterima. Alasan utamanya adalah karena jejak kurang baik yang ditinggalkan oleh kakak-kakak mereka yang masuk ke SD tersebut tahun lalu.  Perlu diketahui, anak-anak ini adalah Angkatan kedua dari komunitas Anak-anak Asmat Belakang Stadion Maro (Asmaro) yang telah kami dampingi selama 4 tahun agar mereka tetap melanjutkan Pendidikan Dasar hingga selesai. Angkatan pertama anak-anak Asmaro yang meneruskan jenjang Sekolah Dasar di tahun 2023 berjumlah 21 anak. Sejak bulan Juli tahun 2023, kami (dengan didukung oleh PJNS Belanda dan Remote School) selalu menyediakan sarana transportasi pulang pergi setiap hari (senin – sabtu) agar anak-anak ini bisa bersekolah. Selain itu, kami juga menyediakan perlengkapan sekolah bagi mereka. Kadang, jika ada kelebihan makanan yang biasanya kami berikan untuk anak-anak TK kami (yang sebagian besar juga merupakan anak-anak Asmaro), mereka pun akan mendapatkannya. Semuanya ini kami sediakan dengan harapan bahwa mereka bisa tetap bersekolah. Namun, dalam perjalanannya ada beberapaa persoalan yang timbul yang sering berasal dari rumah anak-anak Asmaro. Seperti ketika ada anak yang hendak pergi ke sekolah tetapi orang tuanya tidak menyediakan sarapan buat anak tersebut. Akhirnya, anak itu jadi tidak ingin ke sekolah karena perutnya belum terisi. Biasanya, jika orang tua mereka ada sedikit uang, akan diberikan kepada anak tersebut agar ia bisa membeli makanan di kantin sekolah. Hanya saja, hal ini tidak terjadi pada sebagian besar anak-anak Asmaro. Situasi ini menjadi alasan utama menurunnya tingkat kehadiran mereka di Sekolah. Faktor lain lagi adalah rasa tidak nyaman dan aman yang dialami oleh anak-anak Asmaro ketika berada di antara teman-teman mereka yang secara mencolok sangat berbeda dari sisi kebersihan badan dan kerapian seragam yang dikenakan. Sebagian besar anak-anak Asmaro datang dalam keadaan badan yang kurang bersih, dengan seragam yang sudah kumal dan tidak rapi. Jika ditambah dengan perut yang kosong tanpa ada uang di tangan, bisa dibayangkan betapa beratnya beban psikologis yang setiap paginya ditanggung anak-anak Asmaro ketika berada di antara murid-murid lain maupun guru yang memiliki standar sanitasi rumah yang berbeda. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat asik untuk belajar dan menemukan teman baru menjadi sangat asing bahkan menakutkan bagi mereka. Ini belum lagi jika kondisi anak-anak Asmaro yang masuk ke dalam sekolah sedikit banyaknya mengganggu kenyamanan anak-anak yang lain.  Setidaknya seperti itulah feedback yang kami dapat dari para guru yang mengajar. Sebagai contoh menurut penuturan guru di Sekolah, sempat ada anak Asmaro yang datang dalam keadaan lumpur mengering di beberapa bagian tubuhnya yang ditengarai anak tersebut telah mandi di rawa satu hari sebelumnya. Mungkin saja ia tidak membersihkan badannya begitu pulang ke rumah. Di hari berikutnya ia langsung mengenakan seragam lalu berangkat ke sekolah. Kondisi rumah yang kurang kondusif untuk mendorong semangat mereka agar terus bersekolah ditambah dengan tekanan psikologis yang diterima di sekolah, membuat anak-anak ini lari tidak hanya dari sekolah saja namun dari rumah juga. Tidak mengherankan jika kita akan selalu berjumpa dengan anak-anak Asmaro yang lebih nyaman duduk di emperan pertokoan. Jalanan akhirnya menjadi tempat yang bisa ‘menerima’ mereka apa adanya tanpa judgment yang membebani mental mereka. Jalanan dengan demikian menjadi ‘Sekolah’ yang aman dan nyaman untuk belajar.

Seorang siswa Sekolah Komunitas Lentera sedang menulis di Papan Tulis

Kembali kepada persoalan 12 anak Asmaro yang tahun ini tidak bisa melanjutkan sekolah. Atas dasar pengalaman para guru di sekolah seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, maka pihak sekolah kemudian tidak lagi mengijinkan anak-anak Asmaro untuk mendaftar di sana. Kemudian kami mengambil langkah taktis untuk menyediakan tempat agar mereka tetap bisa belajar sesuai umur mereka namun dengan tetap bisa menerima ijazah di kemudian hari. Kami akhirnya memutuskan untuk membuka Sekolah Komunitas, sebuah format pembelajaran yang dirancang untuk mengakomodasi kebutuhan anak-anak dampingan kami. Lantas ada yang bertanya mengapa kami tidak mencari sekolah lain saja yang masih berada dalam zonasi tempat tinggal mereka? Sejujurnya, ada dua kandidat sekolah yang kami rencanakan untuk membawa anak-anak tersebut ke sana. Akan tetapi, persoalannya tidak sekedar ganti sekolah saja. Persoalan mendasar ada pada lingkungan rumah mereka yang belum kondusif untuk tumbuh kembang anak. Sekolah formal dengan format yang umum cukup sulit untuk mengakomodasi anak-anak yang berasal dari lingkungan rumah seperti itu. Hal inilah yang menjadi dasar kami untuk kemudian membuka Sekolah Komunitas, sebuah ide yang tidak pernah kami rencanakan, namun akhirnya harus diwujudkan di tahun ini. Format Sekolah Komunitas membuat anak-anak bisa belajar di mana saja, menggunakan media apa saja, dengan métode dan pendekatan kontekstual namun dengan tetap berpedoman terhadap standar kurikulum Nasional.

Anak-anak Siswa Sekolah Komunitas Lentera sedang belajar

Jika mau jujur, kami tidak memiliki sumber daya untuk membuka sekolah baru. Akan tetapi, jika kami tidak melakukannya, apa yang telah kami bangun selama ini akan runtuh dalam sekejap. Semua keringat, tenaga, pikiran, dana dan sumber daya lainnya akan sia-sia. Visi #PapuaMandiri2050 yang sejatinya akan menjadi warisan mereka tidak akan pernah terwujud. Di atas segala kekurangan itulah, kami mengambil keputusan untuk mengambil tanggung jawab tersebut.

Pengalaman mengejutkan ini melatih otot-otot adaptasi kami terhadap perubahan yang bisa datang secara tiba-tiba tanpa persiapan apapun. Dengan cara ini, kami dibawa kepada level baru untuk berkawan dengan apa yang disebut Perubahan yang tidak selalu datang dengan sopan dan membawa hal baik. Justru, dari pengalaman selama 4 tahun ini, kami selalu bertumbuh dengan cara yang unik. Tantangan yang sering dibawa oleh perubahan mendadak sering memaksa untuk memperbesar kapasitas kami sampai seperti sekarang ini. Inilah yang kami sebut sebagai Menari Bersama Perubahan,

Saat ini, anak Asmaro yang bergabung di Sekolah Komunitas kami berjumlah 16 anak. Mereka ini adalah anak-anak yang kami dampingi 4 tahun lalu yang saat ini sudah tidak lagi bersekolah di Sekolah Formal. Usía mereka masih sangat muda sehingga butuh waktu beberapa tahun lagi agar mereka bisa memperoleh Ijazah Sekolah Dasar.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *