Mengapa Orang Papua Sulit Keluar Dari Lingkaran Setan Kemiskinan dan Kebodohan?
Papua Mandiri – Jika anda merupakan OAP, pernakan Papua, penduduk Indonesia yang lahir besar Papua atau warga Indonesia yang telah hidup kurang lebih 10 tahun di Papua pasti setuju bahwa puluhan triliun yang dikucurkan sejak OTSUS diberlakukan tidak mampu mengangkat setengah dari OAP dari garis akut kemiskinan dan kebodohan.

Pertama, KORUPSI! Masalah ini tidak sesederhana bisa dipahami dari lensa hukum semata. Rumitnya persoalan korupsi berakar dari budaya hidup komunal yang kuat di tengah masyarakat Papua. Dalam kebudayaan Papua, ada istilah antropologi klasik yang disebut Big Man (atau orang Besar) yang menjadi pemimpin dalam kelompok marga atau klan tertentu. Orang Muyu misalkan menyebutnya dengan Kayapak atau orang Mee menyebutnya dengan istilah Tonawi. Peran Big Man sangat besar dan penting karena sebagai pemimpin ia wajib menyediakan keamanan dan juga makanan bagi kelompoknya. Dalam Dunia modern, peran ini digantikan oleh seseorang yang sukses menduduki jabatan tertentu di pemerintahan atau mencapai kesuksesan di karir maupun di Dunia bisnis. Día ini biasanya secara de facto menjadi pemimpin bagi keluarga maupun kelompoknya. Ia kemudian, mengambil alih peran the Big Man, sebagai pelindung dan penyedia makanan.
Dengan membandingkan penghasilan per bulan dari jabatan maupun usaha yang ia capai, rasanya sangat sulit untuk berperan sebagai the Big Man. Untuk itulah, ia kemudian mencari jalan lain untuk memenuhi tuntutanya sebagai the Big Man. Salah satunya dengan korupsi. Ini belum lagi tuntutan dari istri maupun gaya hidupnya yang sudah naik level. Mau tidak mau, ia harus meningkatkan penghasilannya dengan cara apapun.
Dampaknya? Korupsi terjadi di segala lini, level, berjamaah dan dinormalisasikan. Bahkan ada yang menganggap bahwa kita tidak suka orang korupsi bukan karena kita tidak sepakat dengan tindakan itu. Melainkan, hanya karena kita tidak kebagian saja.
Dengan budaya korupsi yang dinormalisasikan di segala aspek, visi terbaik yang dituangkan ke dalam rencana program secanggih apapun tidak akan pernah tuntas dengan baik. Bahkan orang dengan integritas terbaik sekalipun, jika sudah masuk ke dalam sistem yang korup akan menjadi busuk di sana. Ini belum ditambah dengan program-program kerja yang berorientasi hanya pada output semata. Yang penting program terlaksana, ada laporan keuangan dan dokumentasi foto-foto sudah selesai. Mengenai keefektifan dan keberlanjutan program akan dipikirkan nanti. Program sudah jalan, anggaran sudah cair. Selesai. Model kerja seperti ini, mau dikasih ratusan triliunan sekalipun tidak akan bisa menyelesaikan persoalan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan anggaran yang lebih sedikit. Seperti contohnya Program Pengentasan Anak Aibon.
Kedua, Kemampuan Adaptasi Orang Papua yang rendah terhadap perubahan jaman. Persoalan ini punya dimensi historis yang panjang. Waktu orang Papua berkenalan dengan dunia luar melalui gereja, para Misionaris dan Zending pun masih berdebat tentang sejauh mana intervensi gereja terhadap kehidupan orang Papua. Apakah orang Papua harus meninggalkan Dunia mereka dan memeluk modernitas ataukah tetap memelihara Dunia mereka sembari menyuntikkan imán kristiani ke kehidupan mereka? Ini pun sebenarnya persoalan rumit yang lain yang hingga sekarang belum selesai. Di tengah proses kristianisasi, pemerintah masuk membawa ide Pembangunan modern. Dengan menyepelehkan perspektif antropologis, program-program Pembangunan era 60an hingga 90an menabrak proses transisi yang waktu itu sedang dibangun secara hati-hati oleh para Misionaris maupun Zending. Alhasil, seperti tanaman pohon kecil yang baru tumbuh di tanah, dicabut dengan tiba-tiba lalu dimasukkan ke dalam sebuah wadah baru. Gegar budaya ini sangat terasa di era 60an-90an yang termanifestasi ke dalam berbagai Gerakan perlawanan di seluruh tanah Papua. Sisanya bisa disaksikan hingga hari ini.
Ketika gereja berhenti berperan sebagai pemandu peradaban orang Papua dan digantikan dengan pemerintah yang meskipun memiliki niat baik namun dengan pendekatan dan cara yang tidak disukai oleh orang Papua, di titik itulah Orang Papua berhenti dan merenungkan kembali dirinya sendiri yang kini hilang arah. Orang Papua sudah sangat jauh berjalan keluar dari tempat di mana ia sebelumnya berada. Ia kini di persimpangan jalan. Putar jalan kembali atau terus maju tanpa tujuan, tuntunan dan yang terlebih penting adalah kepada siapa ia harus percaya dengan proses perjalanan peradabannya.
Di tengah kegalaunnya, datanglah para pekerja sosial yang kita kenal dengan NGO/LSM. Kelompok yang terakhir datang ini membawa agenda global, yakni penyelamatan bumi dari degradasi lingkungan dan perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas ekonomi yang sangat eksploitatif dan destruktif. Orang Papua di kampung-kampung maupun di kota menyambutnya dengan gembira seperti menyambut Yesus yang akan masuk dari pintu gerbang Yerusalem. Mengapa orang Papua sangat antusias menerimanya dengan tangan terbuka? Karena agenda ini membuka kembali jalan pulang yang telah tertutup oleh ketidakpastian modernitas yang sebelumnya diangkut ke kampung-kampung oleh Pemerintah dan Gereja. Jalan untuk kembali kepada kehidupan sebelum adanya pemerintah dan gereja. Hubungan antara NGO dan orang Papua yang terjalin dalam kurun waktu 30 tahun sejak 80an hingga 2000an telah memperkuat institusi dan hukum adat yang sudah ada.
Pertama tentang Tanah yang tidak boleh dijual atas nama ikatan sakral adat dan kehidupan komunal yang menjadi ciri khas kehidupan OAP. Kedua agenda ini merupakan bagian dari program penyelamatan bumi yang mengedepankan Masyarakat Adat (OAP) sebagai aktor utama. Rekonstruksi institusi adat serta struktur sosial yang pernah/telah hidup di masyarakat kemudian diadopsi oleh pemerintah sebagai basis pengembangan ekonomi dan sosial OAP khususnya di kampung-kampung. Namun demikian, seperti halnya pengaruh gereja dan pemerintah yang memberi efek negatif bagi proses perkembangan peradaban orang Papua, kehadiran NGO pun memberi pengaruh yang sama. Kita bisa melihat sikap resistensi dari orang Papua yang meningkat terhadap perubahan yang datang. Ini terjadi karena narasi agenda global Lingkungan yang dipahami oleh orang Papua sebagai ideologi untuk kembali Ke Eden yang hilang. Resistensi ini meningkat hingga ke tahap mengkhawatirkan karena banyak dari keluarga-keluarga Papua di kampung menjadi tidak termotivasi untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Tidak lain karena mereka berpikir dusun bisa memberikan mereka makan.
Kedua adalah kontrakdiksi agenda kesetaraan gender dengan menguatnya institusi adat yang bias gender dan patriarkis. Dalam budaya orang Papua, laki-laki memiliki hak istimewa yang tidak akan pernah bisa didapat oleh Perempuan. Alasannya sangat simpel. Karena ia adalah seorang Perempuan. Contohnya adalah hak kepemilikan atas tanah dan hak pengambilan keputusan. Kedua hak ini sangat esensial di bidang ekonomi dan politik. Jika, atas nama adat perempuan tidak bisa setara di dalam dua bidang tersebut, lantas kesetaraan gender mana yang ingin diperjuangkan?
Ketiga adalah mentalitas ingin dibantu. Program intensif, jangka panjang dengan kucuran dana melimpah telah berdampak pada pembentukan mentalitas ketergantungan terhadap NGO dan pemerintah. Efek Mentalitas ini sebenarnya jauh lebih buruk sebab akarnya terletak pada gambar diri yang terbentuk selama proses relasi sosial yang terjalin di periode program. Orang Papua di kampung-kampung melihat dirinya sebagai korban keadaan dan tidak berdaya sehingga berhak ditolong. Dan bentuk pertolongan yang paling sering diberikan adalah uang gampang (easy money). Alhasil, orang Papua terbiasa dengan yang namanya uang duduk, uang transport, serta berbagai bantuan uang gampang dari pemerintah. Tidak ada uang, tidak mau kerja. Puncaknya ada pada mentalitas gratisan. Ribut soal biaya kuliah, BLT hingga curiga terhadap pelatihan berbayar. Ini telah terjadi selama 3 generasi.
Terakhir adalah peran korporasi yang dilematis bagi orang Papua sejak dulu. Kehadiran mereka secara langsung mempercepat proses perubahan ruang hidup orang Papua yang masih tertatih dalam beradaptasi. Korporasi memicu orang Papua untuk melatih kemampuan adaptasinya, namun di sisi lain mereka juga menjadi aktor utama perusak lingkungan. Ketegangan ini semestinya memang perlu ditengahi oleh Pemerintah. Namun, hingga saat ini seperti yang dialami oleh orang Papua, mereka tidak merasa bahwa Pemerintah berpihak pada mereka. Ini pun menjadi dilema juga bagi perusahaan. Mereka pun memiliki kewajiban untuk program pemberdayaan. Akan tetapi dengan cara kerja yang teknokratis, minim literasi budaya OAP dan pendekatan yang kaku membuat mereka seakan acuh tak acuh terhadap persoalah OAP. Apalagi dengan pengalaman mereka ketika menerima OAP sebagai tenaga kerja yang etos kerjanya rendah. Hal ini memperpanjang jarak antara perusahaan dan OAP sendiri yang dari awal sudah ada kecurigaan satu sama lain.
Dengan melihat proses transisi yang melibatkan empat aktor utama Gereja, Pemerintah, Perusahaan dan LSM selama kurun waktu 50 tahun terakhir, kita mendapati hasilnya seperti sekarang. Daya adaptasi orang Papua terlalu rendah akibat mandeknya transisi di tahun 70an-90an dan berimbas hingga hari ini. Akselerasi pembangunan yang berkolaborasi dengan Perusahaan yang dilakukan oleh pemerintah sekarang merupakan niat baik, hanya saja yang perlu dibereskan adalah Korupsi yang merajalela di seluruh lini pemerintahan. Hal ini untuk mengembalikan fungsi anggaran kepada peruntukkannya semula. Jika anggaran digunakan sesai peruntukkannya, hasilnya akan lebih maksimal. Dengan begini, kepercayaan orang Papua terhadap pemerintah pasti akan meningkat hingga pada level bersediia untuk kolaborasi membangun tanah ini.
Selain itu, LSM yang berhubungan langsung dengan orang Papua perlu mentrnsformasi paradigmanya mengatur ulang trajektori programnya selaras dengan transisi yang lebih moderat dan bertahap. Sebab orang Papua tidak akan mungkin hidup selamanya bergantung pada hutan. Mengevaluasi dampak berlebihan dari projek penyelematan lingkungan global adalah langkah pertama yang perlu dikerjakan. Orang Papua sebagai manusia memiliki potensi kemampuan lebih dari itu. Ini yang harus dibangun dari diri orang Papua. LSM masih memainkan peran penting untuk menjadi penyelaras antara dunia yang mengalami percapatan pembangunan dengan transisi perubahan orang Papua yang berjalan lambat.
Pemerintah pun harus serius mengkreasi dan punya komitmen tinggi untuk program-program yang berdampak luas, mendalam serta berkelanjutan. Di samping mengarahkan Perusahaan untuk berinvestasi pada pendidikan OAP agar kelak bisa berpartisipasi ke dalam proses pembangunan yang sedang berjalan.
Orang Papua sendiri dalam hal ini pun mesti melepaskan mentalitas “korban Keadaan” dan “Peminta”. Kemudian memprioritaskan pendidikan untuk kehidupan generasi selanjutnya. Secara kreatif dan inovatif bertransformasi, membawa bentuk-bentuk identitas ke-Papua-an lama agar bisa lebih adaptif dengan dunia masa kini dan masa yang akan datang.
Jika hal-hal ini tidak berubah dan terus berjalan seperti yang terjadi sekarang, kita semua terlibat termasuk orang Papua sendiri mengubur hidup-hidup diri mereka di atas tanahnya sendiri. kalau sudah begini, siapa yang mau disalahkan? Pertanyaan penting selanjutnya adalah bagaimana menuntaskan dua persoalan utama yakni Korupsi dan Daya Adaptasi Rendah dalam konteks orang Papua hari ini?

