Mimpi Orang Asmat di Bumi Anim-Ha (Seri I) : Kunang-kunang Bercahaya Di Seberang Sungai Maro

PAPUA MANDIRI – Asmat adalah salah satu suku besar di bagian Selatan Papua. Secara turun-temurun mereka menempati wilayah yang kini menjadi kabupaten Asmat. Hampir semua wilayah mereka merupakan rawa berlumpur. Dengan kondisi demikian, mereka biasanya membuat pemukiman di pinggiran sungai yang agak lebih tinggi dengan akses transportasi menggunakan perahu-perahu kecil.

Secara tradisional, suku Asmat merupakan masyarakat peramu. Aktivitas keseharian mereka diisi dengan mencari ikan di sungai dan kali kecil. Untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat mereka, sagu merupakan makanan utama setiap keluarga di kampung. Sagu-sagu tersebut banyak tumbuh dengan sendirinya di setiap dusun mereka.

Selanjutnya, suku Asmat juga dikenal memiliki tradisi kesenian mengukir bernilai tinggi. Rupa-rupa ukirannya memiliki makna filosofis yang menggambarkan kosmologi kehidupan suku Asmat. Selain itu, karya ukiran yang dibuat merupakan eskpresi jiwa yang menghubungkan dan menggambarkan relasi yang intim dengan leluhur mereka. Karya seni bernilai tinggi inilah yang membuat suku Asmat menjadi yang pertama dikenal dari suku-suku di Papua oleh orang dari negara lain sejak dulu. Mereka merupakan satu-satunya suku di Papua yang masih mempertahankan tradisi tersebut hingga saat ini.

Masyarakat Asmat seperti suku-suku lainnya di Papua memiliki corak hidup komunal yang sangat kental. Hal ini bisa terlihat di dalam sebuah rumah terdapat lebih dari satu kepala keluarga. Konsekuensinya, terdapat lebih dari satu tungku api yang biasanya dikelola oleh masing-masing istri di rumah tersebut. Kamar-kamar tidak jarang hanya diberi sekat saja tanpa pintu. Untuk anggota keluarga yang masih anak-anak, mereka akan tinggal dengan orang tuanya. Sedangkan bagi mereka yang sudah menginjak usia remaja menjelang dewasa, biasanya akan tinggal terpisah. Anak muda akan membuat rumah sendiri yang disebut rumah bujang, khususnya laki-laki.

Kekerabatan mereka didasarkan pada hubungan marga dari kedua orang tua. Dengan jalinan seperti ini, setiap anggota terjaring dalam hubungan yang lebih luas dan kompleks sehingga menimbulkan kesan bahwa semuanya adalah keluarga. Jalinan tersebut dimulai dari keluarga inti satu marga, hubungan antar anggota satu marga baik dari bapak maupun ibu, hubungan antara marga sebagai akibat dari pernikahan. Selanjutnya, jalinan kekerabatan diperluas berdasarkan asal kampung hingga hubungan erat antara kampung.

Dalam tenunan relasi sosial seperti inilah kehidupan komunal yang kental hidup dan bertahan hingga sekarang. Hal ini jelas terlihat pada sebaran orang Asmat di kabupaten Merauke. Mereka biasanya datang berkelompok dari satu marga maupun satu kampung dan menempati satu lokasi pemukiman yang sama.

 

Urbanisasi Orang-orang Asmat ke Merauke

Kedatangan orang Asmat di Merauke terjadi dalam rentang waktu tahun 80an hingga 2000an. Pada saat itu, Asmat masih merupakan salah satu distrik dari kabupaten Merauke. Luas wilayah yang besar (bahkan merupakan kabupaten terbesar di Indonesia sebelum pemekaran) dan rentang layanan pemerintah yang banyak membuat kabupaten Merauke memiliki perkembangan yang tidak merata. Pembangunan lebih banyak terjadi di ibu kota Merauke saja. Sementara di distrik-distrik lain yang dihuni oleh suku-suku besar lainnya di Selatan Papua seperti Mappi, Muyu dan Mandobo (di kabupaten Boven Digoel saat ini) dan Asmat tidak terlalu mengalami kemajuan yang signifikan. Kondisi seperti ini memicu urbanisasi yang cukup besar dari wilayah pinggiran Merauke. Kota yang menjadi wilayah adat suku Marind ini menjelma menjadi semacam gerombolan kunang-kunang yang bercahaya di malam hari yang memikat mata masyarakat di pedalaman seperti orang Asmat. Apalagi dengan mendengar cerita-cerita dari keluarga mereka yang telah hidup di Merauke tentang nikmatnya gaya hidup kota yang serba ada, penuh dengan pesta-pesta dan tidak susah untuk mencari kesenangan lantas memacu laki-laki dewasa Asmat meninggalkan kampung halaman mereka agar bergegas ke Merauke.

Dengan modal keterampilan meramu seadanya tanpa pendidikan yang mumpuni, gelombang pertama orang Asmat datang ke Merauke di tahun 80an. Saat itu mereka datang dan mencari lahan-lahan yang tidak tergarap untuk dijadikan pemukiman. Orang Asmat membangun rumah mereka dari sisa-sisa bahan bangunan seperti papan, kayu dan seng bekas. Rumah yang dibuat biasanya tipe rumah panggung dengan empat hingga lima anak tangga, berdempet dan minim fasilitas MCK. Pola pemukiman dibuat berdasarkan asal kampung maupun ikatan keluarga besar.

Orang-orang muda Asmat yang datang ke Merauke terbantu dengan ramainya lalu lintas perdagangan antar pulau dari dan ke Jawa melalui jalur laut. Mereka ini terserap sebagai Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) di pelabuhan Merauke. Oleh karena itulah, awal mula pemukiman orang Asmat di kota Merauke biasanya dibangun di pinggiran laut sepanjang pantai pelabuhan, yakni di Mbuti, Gudang Arang dan Noari. Di tahun-tahun berikutnya, mereka mulai merambah bidang pekerjaan lain seperti pengangkut pasir untuk kebutuhan pekerjaan konstruksi. Pekerjaan ini pun turut mendorong mereka untuk mulai membangun pemukiman-pemukiman baru yang letaknya lebih dekat dengan wilayah penduduk perkotaan. Hingga saat ini, berdasarkan data yang terkumpul ada sekitar 12 titik pemukiman komunitas Asmat di kota Merauke. Kedua belas titik itu adalah Lantamal, Noari, Mbuti, Onggatmit, Payum, Ternate, Kompi C, Asmaro, Seringgu, Kuda Mati, Kali Weda dan Gudang Arang. Sebagian besar berada di wilayah dalam kota. Hal ini mengindikasikan semakin banyak laki-laki Asmat yang bekerja di sektor jasa angkut pasir ketimbang sebagai TKBM yang lebih didominasi oleh laki-laki dari suku Mappi. Namun, kondisi terkini sudah cukup berubah. Sejak adanya moratorium dari Pemerintah Kabupaten Merauke tentang pembatasan pengerukan pasir di sepanjang pesisir pantai Wendu, Onggari dan Kaliki maka banyak dari laki-laki Asmat yang kehilangan pekerjaannya. Para perempuannya hingga saat ini masih bekerja sebagai pengumpul kaleng bekas atau barang bekas lainnya. Sebagian kecil dari mereka biasanya mencari ikan secara berkelompok dengan menyewa angkutan umum. Hasil pancingan mereka lebih banyak dikonsumsi sendiri ketimbang dijual kembali. Sebagian lagi bekerja sebagai pengupas bawang di kios-kios milik pedagang Makasar dan Bugis di pasar lokal Merauke.

 

Cahaya Kunang-kunang itu Meredup

Jika ditanya apa sebenarnya tujuan mereka ke Merauke? Barangkali akan ada beragam jawaban yang mungkin saja tidak mencerminkan apa yang mereka cari di kota Merauke. Atau mungkin saja mereka sudah tidak tahu lagi apa tujuan kedatangan mereka di kota Merauke. Kunang-kunang pemikat mata di gelapnya malam ternyata tidak gratis untuk dinikmati. Cerita-cerita yang mengumbar kesenangan ala kehidupan orang kota pun ternyata telah menjebak mereka ke dalam pusaran kemiskinan yang akut. Apa yang tersisa hanyalah sekedar menyambung hidup sembari menanggung tekanan sosial dari lingkungan sekitar dan beban psikologis akibat pelabelan negatif terhadap identitas Asmat di kota Merauke.

Terputus dari tanah ulayatnya, kini tinggal di atas tanah milik orang lain ditambah pendidikan rendah dengan keterampilan seadanya membuat sekedar bermimpi seperti barang mewah yang mustahil dijangkau. Asal ada makan sudah cukup. Apalagi orang sekitar tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi dengan mereka. Hanya ada dua momen di mana orang lain mengingat mereka, yakni pada saat menjelang pemilu dan pada saat seseorang ingin pansos (mencari pamor) di media sosial dengan menjadikan mereka hanya sebagai objek pengasihan.

Jika mimpi sudah hancur seperti debu dan berhamburan di udara, lantas untuk apa orang Asmat harus bertahan hidup? Apa arti eksistensi orang Asmat di kota Merauke? Bagaimana mereka membangun kembali persepsi diri mereka yang hancur lebur setelah puluhan tahun tersesat di rimba kehidupan modern? Bagaimana mengatur kembali perjalanan dan menata kembali tujuan hidup mereka yang sudah lenyap dilahap setan kemiskinan yang membelenggu?

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *